Makna Natal Yang Bergeser (sebuah refleksi)
|
“Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang
datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan
oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.” (Yohanes 1:9-10)
Ketika Yesus dilahirkan di Betlehem lebih dari 2000 tahun yang
lalu, peristiwa itu hanya disaksikan oleh orang-orang awam saja. Kedatangan
Raja di atas segala raja, Sang Raja Damai yang sudah dinubuatkan beribu-ribu
tahun sebelumnya, bahkan difirmankan oleh TUHAN sendiri (Kejadian 3:15),
tidak digenapi dengan penuh kemegahan di hadapan penguasa-penguasa dunia,
orang-orang terkenal, atau para bangsawan lainnya.
Melainkan sebaliknya, Ia lahir di dalam sebuah kandang hewan
peliharaan, dibungkus dengan sehelai lampin dan dibaringkan di dalam sebuah
palungan kayu yang tidak beharga, karena pada saat itu tidak tersedia satu
pun kamar yang kosong di rumah-rumah penginapan bagi ibu-Nya, Maria, serta
Yusuf, suaminya. (Lukas 2:7)
Kisah kelahiran-Nya yang tampak tidak berarti dan sangat
sederhana itu ternyata bisa bertahan mengarungi waktu, selalu relevan bagi
kehidupan umat manusia sepanjang masa. Setiap tahun setiap generasi di
seluruh dunia, secara langsung atau tidak, mendengar, mengenang dan
memperingati kejadian bersejarah tersebut, yang terbukti sampai sekarang
masih tetap berkuasa untuk mengubah sikap hidup mereka.
Selain mengirim ketiga orang majus dari Timur (Matius 2:1-12),
Tuhan hanya memakai orang-orang biasa saja sebagai saksi-saksi kelahiran
Anak-Nya yang tunggal itu. Alkitab mengatakan, bahwa gembala-gembala yang
sedang menjaga kawanan ternak mereka di padang dipilih oleh-Nya untuk menjadi
saksi-saksi pertama kelahiran Kristus. Bukan para ahli Taurat, orang-orang
Farisi atau orang-orang terpelajar lainnya!
Malam itu mereka melihat dan mendengar pujian yang dinyanyikan
oleh sejumlah besar bala tentara sorga: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang
mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan
kepada-Nya.” (Lukas 2:14)
Padahal pada abad yang pertama, status para penggembala domba di
Israel tergolong amat rendah. Kesaksian-kesaksian mereka tidak bisa diterima
oleh orang-orang Yahudi di sistim pengadilan mereka. Kendatipun demikian,
Tuhan memilih dan menjadikan mereka saksi-saksi yang sah untuk memberitakan
kedatangan Tuhan Yesus di dunia. Injil Lukas mencatatnya seperti ini: “Dan
semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan
gembala-gembala itu kepada mereka.” (Lukas 2:18)
Sampai saat ini Tuhan masih tetap memilih orang-orang biasa
sebagai saksi-saksi-Nya untuk memperingati dan memberitakan kabar gembira
mengenai kelahiran seorang Juruselamat yang terjadi 2000 tahun yang lalu. Ia
terus menggunakan orang-orang awam seperti kita untuk menyampaikannya kepada
orang-orang yang sangat memerlukannya.
Tuhan mau dan bisa memakai kita! Oleh karena itu kita tidak
perlu mempertanyakan tujuan-Nya memanggil dengan meragukan kelayakan diri
kita sendiri: “Apakah Tuhan bisa memakai seorang yang tidak berarti seperti
aku, yang tidak memiliki kepandaian apa-apa? Apakah aku mampu melakukannya?”
Jika Allah Bapa di sorga mau menggunakan para gembala di padang
sebagai saksi-saksi yang mutlak atas kelahiran Anak-Nya yang tunggal, Tuhan
Yesus Kristus, tentu Ia juga berkenan memakai kita. Yang dituntut oleh-Nya
hanya sikap hati yang taat, yang mau memberitakan peristiwa tersebut kepada
orang-orang lain seperti apa adanya, seperti yang tertulis di dalam firman
Tuhan. Tanpa menambahkan ‘embel-embel’ lain yang sudah dilazimkan oleh umum,
dan yang sekarang ternyata berhasil menyelewengkan kebenaran makna hari
bersejarah itu.
Yesus-lah inti perayaan hari Natal yang diadakan setiap tahun di
seluruh dunia. Dia-lah penyebab hari tersebut dirayakan sebagai suatu
peringatan akan kedatangan Allah yang telah bersedia merendahkan diri-Nya
sendiri, … menjelma menjadi manusia, agar kita, anak-anak manusia, bisa
disebut sebagai anak-anak Allah. (Galatia 3:26)
Yesus lahir dalam kesederhanaan. Dia adalah Raja, jadi
sebenarnya Dia dapat memilih tempat dimana Dia akan dilahirkan. Dia bisa saja
memilih istana yang megah dan penuh keindahan, tetapi sebaliknya Dia memilih
kandang dengan bau yang mungkin saja menyengat.Dia bisa saja memilih untuk
diletakkan di pembaringan yang empuk, tapi Dia justru memilih palungan. Dia
bisa saja memilih sutra termahal untuk menyelimuti-Nya -- ingat, Dia Raja dan
Tuhan -- tetapi Dia membiarkan kain lampin yang kasar dan sederhana
membungkus-Nya. Saat Dia lahir, bisa saja Dia mengundang pembesar dan
golongan bangsawan untuk datang melihat-Nya, tetapi Dia justru memilih para
gembala sebagai tamu kehormatan.
Kelahiran Kristus itu sederhana, bahkan sangat sederhana. Namun anehnya Natal sekarang ini sudah identik dengan kemewahan. Kalau tidak mewah, bukan Natal namanya. Jika anggaran dana Natal tidak membengkak sampai berpuluh-puluh juta, Natal yang kita peringati serasa kurang afdol. Dengan dalih rohani, kita selalu berkata bahwa kita sedang menyambut kelahiran Raja di atas segala raja, sehingga segala pemborosan yang kita berikan tidak berarti sama sekali. Memang tidak pantas jika kita membuat perhitungan finansial terhadap Tuhan. Namun, apakah benar semua kemewahan itu untuk Tuhan, ataukah sebaliknya untuk memuaskan keinginan kita sendiri? Bukankah sejujurnya kita sungkan dengan tamu undangan yang datang dalam acara Natal kita itu, sehingga mau tidak mau kita akan menyiapkan acara itu semewah mungkin? Padahal bisa saja kita merayakan Natal dalam kesederhanaan tanpa mengurangi esensi Natal itu sendiri.
Seandainya waktu bisa diputar ulang, saya ingin kembali ke Natal
yang pertama untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana suasana di
Betlehem. Sementara semua penduduk desa kecil itu sudah tertidur pulas, di
suatu tempat, tepatnya di sebuah kandang sederhana, terlihat Yusuf dengan
Maria yang sedang menggendong Sang Mesias. Serombongan gembala datang dengan
ekspresi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Suasana di sana begitu
hangat, tenang, teduh dan dipenuhi kedamaian yang tak terkatakan. Natal
pertama memang diwarnai dengan kedamaian.
Dua puluh abad kemudian, Natal masih diperingati. Kisahnya masih terus diceritakan. Bahkan cerita Natal itu tampaknya tidak pernah usang. Hanya sayang, kedamaian yang menyelimuti Natal pertama berangsur-angsur hilang. Kini kita memperingati Natal, tapi tak pernah merasa damai. Sebaliknya, Natal tidak lebih dari kegiatan tahunan yang membuat kita letih. Bahkan kadang kala kita memperingati dengan kegelisahan dan kegalauan dalam hati. Kehadiran Sang Mesias tidak cukup memberi rasa tenang dan rasa aman. Berita kelahiran Juruselamat tidak sanggup menghembuskan rasa damai di hati kita. Tak heran jika Natal tidak begitu berkesan dalam hidup kita. Sama sekali tidak membekas. Bahkan berlalu begitu saja.
Jika kita mau merenungkan lebih jauh, bukankah benar bahwa makna
Natal dalam pengertian yang sebenarnya telah bergeser begitu jauh? Makna
Natal yang sebenarnya diganti dengan hal-hal lahiriah. Digantikan dengan
pesta pora, hura-hura, dan kemewahan yang sia-sia. Dilewatkan begitu saja,
bahkan sebelum kita bisa mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Alangkah
indahnya jika kita bisa kembali ke Natal yang pertama. Merasakan Kristus
dalam kesunyian, membuat jiwa kita lebih peka terhadap suara-Nya. Merasakan
Kristus dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang hidup
dalam kekurangan, yang dilanda bencana atau yang sedang dirundung kesedihan.
Merasakan Kristus dalam embusan damai, mengusir jiwa yang gelisah dan galau.
Setiap orang mempunyai arena-arena sendiri yang bisa dipakai
sebagai alat untuk membagikan kebenaran firman Tuhan mengenai peristiwa itu.
Baik secara perseorangan, lokal, nasional, maupun internasional. Semua itu
mempunyai harga yang sama, karena bukan besarnya jumlah
pendengar/pembaca/pemirsa yang berkenan di hati-Nya, melainkan motif-motif
pelayanan mereka yang bersedia melakukannya.
Marilah kita, melalui setiap media yang sudah disediakan oleh
Tuhan untuk kita, bersama-sama memproklamirkan tanpa kompromi kisah kelahiran
Sang Penebus. Menggunakan setiap kesempatan yang tersedia melalui arena
masing-masing, marilah kita menjadi saksi-saksi-Nya yang mau membagikan
kebenaran makna kisah Natal seperti apa adanya, … seperti yang sudah
dilakukan oleh para penggembala domba di Betlehem pada saat kelahiran Tuhan
kita, Yesus Kristus!
Agar … dunia mengerti kebenaran ayat ini: “Karena begitu besar
kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16) (m’met)
|
Minggu, 19 Januari 2014
SELAMAT TAHUN BARU 21 DESEMBER 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar